head

Upah Buruh Dalam Perspektif Islam


                Tanggal 1 Mei diperingati sebagai hari buruh atau yang sering disebut sebagai “ mayday  “. Buruh sebagai pekerja merupakan faktor produksi yang sangat penting bagi perusahaan. Tetapi apresiasi terhadap peran buruh tersebut masih belum seimbang. Sering kali masyarakat mendengar aksi buruh untuk menuntut beberapa hal kepada perusahaan. Diambil dari kebijakan memotong subsidi BBM Konsekuensinya, maka serikat buruh meminta upah minimum regional ditingkatkan. Termasuk tuntutan-tuntutan lain yang berjumlah sepuluh poin berupa :
1.       Naikkan upah minimum 2015 sebesar 30% dan revisi KHL menjadi 84 item
2.       Tolak penangguhan upah minimum
3.       Jaminan-jaminan pensiun wajib
4.       Jalankan jaminan kesehatan dengan mencabut permenkes No. 69
5.       Hapus outsourcing
6.       Sahkan RUU PRT
7.       Cabut UU OrMas ganti dengan RUU perkumpulan
8.       Angkat pegawai honorer menjadi PNS
9.       Sediakan transportasi publik dan perumahan murah untuk buruh
10.   Jalankan wajib belajar 12 tahun dan beasiswa untuk anak buruh hingga perguruan tinggi

Ke 10 tuntutan itu dalam realisasinya hanya poin pertama saja yang mendapat perhatian khusus dan ironisnya jumlah yang direalisasikan tidak sesuai tuntutan yang diminta oleh serikat pekerja. Buruh merupakan salah satu faktor penting dari proses produksi sehingga penentuan upah menjadi determinan koefisien produktifitas pekerja. Indonesia bahkan dunia mengenal upah minimum bagi buruh sejak tahun 1978 di mana terjadi krisis moneter di seluruh dunia. Terlepas dari tuntutan-tuntutan dari serikat pekerja juga permulaan lahirnya  penulis ingin melihat penentuan terhadap upah dari perspetif ekonomi islam.

Perspektif Ekonomi Islam
                Dalam ajaran islam. Penentuan upah memang tidak dijelaskan secara terperinci. Namun bila disandarkan pada pemikiran-pemikiran para ulama terdahulu seperti Ibnu Taimiyah Rahimahullah bahwasannya perlu adanya harga yang adli baik dari sisi perniagaan maupun pengupahan dimana harga atas pekerjaan seseorang sesuai dengan seberapa banyak energi yang dia keluarkan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Pendapat Ibnu Taimiyah dilandaskan pada hadis Nabi “ berikan kepada seorang pekerja sebelum kering keringatnya”(H.R Ibnu Majah)
                Dilihat dari perspektif negara, maka syariat islam mengharuskan negara untuk menciptakan kesejahteraan, serta mengentaskan kemiskinan dan kesenjangan. Karena itu kebijakan dan program negara haruslah berorientasi pada penigkatan daya beli (Puchasing Power Parity) masyarakat miskin, termasuk bagaimana mentransformasi kelompok mustahik zakat menjadi muzzaki. Upah sebagai sumber kehidupan keluarga sudah semestinya diatur dengan sedemikian rupa agar tidak terjadi kedzaliman. Baik dari sisi bearan, penentuan waktu, kesesuaian kesepakatan, serta kehalalannya.
                Oleh karena iu Rasul memberi contoh bagaimana memberi upah yang banyak. Jikalau penerima upah melaksanakan tugasnya dengan baik (Sesuai target) maka rasul memberikan upah yang disepakati. Jikalau tidak memenuhi target maka rasul membuat perhitungan seperti melihat keadaan keluarganya, kesehatannya dan kondisi yang terjadi pada saat itu. Dan inilah yang tidak ada dalam konteks indonesia saat ini. Menyamaratakan seluruh upah pekerja dengan hrga yang sama di suatu wilayah.
                Dari sini kita melihat perbedaan yang mendasar antara konteks keislaman dan realisasinya di Indonesia.  Yakni islam melihat upah sebagai konsep moral dan kemanuasiaan. Upah dalam islam tidak hanya sebatas materi tapi juga dimensi akhirat.
Club Riset
14 April 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar