head

Baranang siang, 26 sep 11

Dini pagi sabtu lalu tepatnya tanggal 24 september 2011, kosan teman sekelas saya yang berada di Desa Cipambuan Sentul City, dibobol maling. Kejadian itu sangat membuat kami tersentak kaget. Betapa tidak, si maling berhasil menggondol 3 buah laptop dan 4 buah telpon seluler dalam satu waktu dengan mencongkel jendela yang tidak dilindungi teralis besi disisi dalamnya. Tak ada satupun warga yang mengetahui kejadian itu, bahkan sang korban pun tak sadarkan diri dalam tidurnya ketika pencuri mengambil barang yang berada di dekatnya. Spontan paginya, sang korban kaget dan melapor kepada pak RT dan pihak yang berwenang (polisi) atas kejadian itu.

Kejadian ini memang bukan hanya terjadi kali itu saja. Sebut saja kawasan sekitarnya seperti Desa Citaringgul, Perumahan Griya Alam, Babakan Madang, Cadas Ngampar telah mengalami berkali-kali hal serupa. Sang korban juga bermacam macam, dari penduduk setempat maupun mereka yang mengontrak tempat tinggal seperti mahasiswa dan karyawan bangunan. Bentuk kriminallitasnya pun beragam, dari pencurian barang elektronik; HP; laptop; Monitor LCD, hingga kendaraan bermotor. Meski begitu, hal ini belum dianggap serius oleh mereka yang berwenang (kepolisian) di daerah setempat. Hal itu terbukti dengan entengnya mereka menjawab :”Ya makanya hati-hati mas di daerah sini, barang-barang dijaga sendiri. Yang melakukan memang merupakan sindikat”. (terkesan tak menjawab hak-hak sang korban dan permasalahan).

Jika di telusuri lebih lanjut, penyebab kriminalitas itu adalah disparitas kehidupan (hal ekonomi) dan kesenjangan sosial antara warga sekitar dan perumahan yang begitu mencolok. Hal ini mendukung teorinya J.H Boeke tentang dualisme kehidupan masyarakat. Lalu apa hubungannya.?

Begini penjelasannya. Sebelum menjadi perumahan, daerah Sentul City dahulu merupakan desa warga asli setempat atau pribumi. Lalu datanglah Developer yang ingin membangun perumahan di kawasan itu. Dalam proses pembebasan lahannya, mereka menggunakan pemaksaan dengan menggusur perumahan warga di daerah itu tanpa unggah-ungguh atau kulonuwun (Jawa : Permisi). Apa boleh buat, warga hanya bisa pasrah dan berharap dapat mendapat sebagian rembesan dan kue ekonomi (trickle down effect theory) dari pembangunan yang akan melibatkan mereka khususnya dalam hal labor.      

Pembangunan pun berlanjut, secara bertahap Sentul city menjadi kawasan perkotaan baru dengan perumahan yang mewah dan fasilitas leisure nya yang serba wah. Pembangunannya meningkat pesat dengan dana investor yang lambat laun menjelma menjadi mal, hotel, taman wisata dll. Para konsumen pun berdatangan dari dalam dan luar Jabodetabek. Mereka membeli kaplingan rumah yang harganya ratusan juta hingga miliaran rupiah. Tentu mereka konglomerat yang gampang dalam mencari duit, berbeda 180 derajat dengan warga sekitar yang kolot dan kaum urban yang menjadi labor dalam pembangunan fasilitas leisure tsb.

Keadaan ekonomi yang timpang antara pemilik perumahan dan warga sekitar itu menimbulkan rasa iri dan dengki di hati para pribumi. Mereka lalu melakukan hal-hal yang mereka anggap perlu sebagai obat penyakit sosial tersebut dan harga atas penggusuran tanah warga terdahulu. Maka tak heran jika sering terjadi kriminalitas sekitar daerah itu yang jika ditanya pada pelakunya mereka akan menjawab karena kepepet lah, buat isi perut lah, buat kualitas hidup lebih baik lah, dan sebagainya. Karena itu lah mengapa dalam Islam ada istilah Zakat, Infaq dan Shadaqah, salah satunya adalah untuk distribusi pendapatan dan agar hilang penyakit sosial antara si kaya dan si miskin dan juga untuk pembersihan harta dan hati. Wallahu a’lam..

by : hakimsan